waNNa peaCe..!!
Waa.. akhirnya hari ini datang juga. Tak kurang 50 orang ko-ass baru menanti pembagian bagian di klinik. Deg..deg..namaku dipanggil!! Waa.. Bagian Prostodonsi?!! Sok panik nih ceritanya. Yaa, namanya saja ko-ass baru. Wajib n kudu nanya info soal bagian satu ini. Setelah sibuk nanya sana, nanya sini, celinguk sana, celinguk sini. Kesimpulannya, dosennya sih ada yang killer, ada juga yang baik. Tapi, di bagian ini nih, siap2 aja coz biayanya paling muahal!! Katanya sih, emang di bagian ini, harus siap ngeluarin kocek yang lumayan. Uff..lagi-lagi soal biaya. Kapan sih, pendidikan di Indonesia atau gak usah-usah jauh deh, di fakultasku ada yang gratisan?!!!! Wao..big dreaming!! Teringat adik-adikku 2005, dan calon adik-adikku nantinya (yang bakalan menikmati pahitnya BHP). Euforia masuknya mereka di perguruan tinggi bergengsi sejenak terhenti mengingat mahalnya biaya SPP, POMD atau usaha komersialisasi lainnya atas nama pendidikan. Hey, mereka masih mahasiswa, sama dengan kalian* dulu!! (*pihak rektorat, para dekan dan dosen yang mencari keuntungan dari saku mahasiswa baru) Kalian lupa, mereka belum bekerja. Mereka dapat uang dari mana? Ya,tentu saja dari penghasilan ortu!! Tidak semua orang tua mahasiswa yang masuk ke FKG itu anggota DPR misalkan. Ada juga yang petani, atau bahkan tukang becak? Darimana mereka mendapat uang untuk membayar SPP, yang hampir sama nilainya dengan setengah tahun penghasilan mereka? Atau biaya uang pangkal dan POMD? Ditambah lagi, uang alat –alat praktikum yang tambah tahun harganya naik, entah berapa kali lipat. Jangan-jangan naiknya harga alat praktikum itu , karena ada kongkalikong pihak supplier dengan pihak dosen pengelola laboratorium? Apa gara-gara gaji dosen tidak cukup, samapai harus juga meraup keuntungan dari kantong mahasiswa baru ? Aduh, pusiing!! Belum lagi penderitaan mereka atas nama opspek, yang ujung-ujungnya memakan korban. Bukan usaha penyambutan dan pengenalan kampus yang diteriakkan pihak panitia, namun cuma jadi ajang balas dendam seniornya atau bahkan sekedar ingin membumbung tradisi. Dilema. Lagi-lagi dilema dalam diriku? Satu sisi, mereka yang tidak mendapat sedikit “kekerasan”, menurutku (opini pribadi-red) bakalan jadi mahasiswa dengan mental yang lembek, manja dan cengeng. Namun, apakah kekerasan memang kunci untuk mendapatkan keluaran yang menghargai dan menghormati seniornya? Asdar Muis RMS dalam essaynya 10 September lalu, mengatakan ia kebetulan saja masuk ke Unhas tidak mendapat yang namanya mapram, opspek atau sejenisnya. Yang ia dapatkan kala itu berupa P4, pengenalan, pemahaman dan penghayatan kepada Pancasila. Namun toh,kedekatan dan penghargaan junior kepada seniornya tidak perlu diragukan. Jadi, kapan ya Unhas bebas dari pendidikan yang hanya bisa dibeli dengan harga yang selangit dan bisa dinikmati tanpa yang namanya kekerasan. Peace, man!!!
0 ur comment's